ARTIKELBERITA KIM RONGGOLAWEBUDAYA

“Mbesang Colok” Tradisi Jaman Kolonial Hingga Jaman Milenial

KIM Ronggolawe –  Entah kapan dan siapa yang memulai sebuah tradisi ini, namun nyatanya hingga saat ini tradisi yang hanya ada pada setiap malam Selikur ( 21) dan malam Songo (29) pada bulan Ramadan dilaksanakan  tersebut, hingga kini masih tetap dijalankan dan dipertahankan.

Mbesang Colok, ya tradisi yang penuh filosofi kehidupan yang dilakukan oleh para pendahulu kita tersebut hingga kini masih merupakan sebuah misteri dalam kehidupan kita, pasalnya hingga saya segede ini masih belum ada sumber yang dapat dijadikan referensi tentang makna dari memasang Colok tersebut ( atau mungkin saya yang kurang mengetahuinya).

Hanya sebuah jawaban “ Jare Mbahe” yang selalu saya dengar ketika saya mencoba bertanya mengapa harus memasang dan menyalakan Colok serta apa makna dan tujuan dari diadakanya ritual Mbesang Colok tersebut.

“ Jare mbah mbien nak wayah malem selikur iki kudu mbesang Colok, mergo dulur – dulur sing wis mati kui podo mulih, ben padang dalane nak dibesangi colok,” itu kata Si Mbah saya yang usianya sudah diatas 80 tahun.

Colok sendiri adalah merupakan sebuah sebutan atau nama dari sebuah benda yang mirip dengan obor namun dengan ukuran lebih kecil serta dinyalakan disaat menjelang senja pada malam Selikur atau malam Songo di bulan Ramadan. Sedangkan Colok sendiri umumnya terbuat dari tongkol buah jagung yang sudah kering, kemudian diberi sebatang bambu kecil atau sapu lidi yang berguna sebagai  penyangga, kemudian diberi minyak tanah dan selanjutnya siap dinyalakan. Namun juga ada yang membuat Colok dari bahan kain bekas atau apapun yang dapat dinyalakan tergantung selera.

Seperti yang sudah saya sampikan diatas, sebelum Colok dinyalakan maka akan ditempatan atau dipasang ditiap – tiap depan pintu baik itu pintu utama maupun pintu samping (butulan). Dan setelah semuanya terpasang dan ketika menjelang bedug Magrib terdengar maka Colok tersebut sudah dinyalakan.

Itulah uniknya dan Tawadhuknya orang – orang terdahulu mengikut ajaran dan tradisi dari para pendahulunya tanpa harus bertanya apa tujuan dan manfaatnya, berbeda dengan generasi milenial saat ini yang selalu Kepo dan terkesan menyangkal dengan apa yang disampaikan oleh para orang tua, “ Marai opo” itu yang mungkn menjadi pemikiran saya dan orang – orang modern saat ini.

Apapaun tujuan dan makna dari menyalakan Colok tersebut setidaknya menjadi pengingat bagi kita bahwa pada malam – malam tersebut para ahli ahli kita akan pulang menyambangi kita, dan sebagai manusia modern mungkin kita akan dapat berfikir bahwa mungkin yang dimaksud dengan Padang Dalane bukan hanya dengan menyalakan Colok, namun kita harus dapat mewarnai filosofi tersebut dengan tingkat pengetahuan kita, terlebih pada  malam – malam tersebut diyakini sebagai malam Lailatul Qodar, seperti dalam sebuah hadist diterangkan “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (HR.Bukhari dan Muslim), mungkin dengan cara bersedekah ataupun mendo’akan ahli – ahli kita akan lebih afdhol menurut ajaran kita, tanpa menghilangkan tradisi “ Mbesang Colok” . [NN/AM]

 

 

kimronggolawe

Admin Web kimronggolawe.com

Related Articles

Back to top button